Ayahku Seorang Pejuang


Ayah adalah seorang pejuang kemerdekaan. Aku mengenalnya dengan baik, seorang kepala keluarga yang tegas, keras berani dan berprinsip. Kata ibu sifat ayah banyak menurun padaku, perempuan keras tegas, berani dan pantang kompromi untuk urusan kebatilan. 

Bangga rasanya memiliki banyak sifat ayah, meskipun begitu kami yang sesama keras sering sekali tidak akurnya. Seperti ketika ayah meminta saya untuk melanjutkan sekolah ke jenjang formal, saya lebih memilih sering kabur dari sekolah dan meminta dikirim ke pesantren saja sejak usia 12 tahun. Iya karena ayah, selain seorang pejuang, beliau adalah ulama ditengah masyarakat, maka itulah alsannya kenapa saya lebih memilih pesantren. Berharap kelak bisa jadi ulama sepeti ayah.

Di lingkungan rumah  yang seadanya, terdapat jejeran Kobong tempat santri putra mengaji  kepada ayah, di Kobong itulah tak jarang ayah dan para tokoh berkumpul untuk merapatkan barisan perjuangan.

Masih terpajang gagah di dinding rumah, foto ayah berseragam, dan konon katanya ayah pernah mendapatkan penghargaan dari presiden Suharto. Saya percaya karna bukti terpampang dalam satu bingakai, ayah menerima sematan bintang didada dari sang presiden kala itu. Lencana dan beberapa penghargaan masih  tersimpan  sebagai kenangan.

Masih teringat satu peristiwa di malam hari, saat penjajah datang mengeldah rumah, ayah keluar dari pintu belakang, sementara ibu menghalau para tamu tak diundang didepan pintu .

"Ada apa kalian mengganggu kami ditengah malam ? tanya ibuku dengan penuh keberanian.

Kami mencari Muhamad Akbar kata para penjajah menyebut nama ayah.

"Tidak ada dia belum pulang", 

Kami akan cari di dalam" seraya para penjajah. Itu menerobos rumah, mengacak-acak meja kursi dan merobek garden, memeriksa setiap kamar bahkan sampai menggeldah Kobong dan seluruh pesantren namun mereka tidak menemukan ayah. Sementara kami 4 anak ayah meringkuk ketakutan. Sampai hari ini saya tidak pernah faham di mana saat itu ayah bersembunyi. Entah lah.

"Neng, kang jadilah warga negara yang baik, junjung tinggi cinta negri, taati aturan dan hukum, jaga tanah air kita dari tangan-tangan orang yang tidak bertanggung jawab. Tetap keras pada kebatilan dan lembut pada yang hak" begitu petuahnya suatu hari sebelum ayah wafat.

Kini Indonesia telah merdeka, tapi jejak perjaungan yang diwariskan ayah masih bergelora dalam dada ini. Di sini di Pesantren yang saya bagun kembali dengan keringat dan air mata, menjadi saksi bahwa penjajahan belum juga hengkang dari negri kami. 

Telah bertahun-tahun sebuah korporasi bercokol di Desa kami. Sebuah perusahaan dengan nama PT Sintesa geotermal invertama berusaha merusak  gunung dan sawah kami untuk di babat habis dengan sebuah misi kekuasaan dan kekayaan berkedok pembangunan.

Telah banyak berbagai tamu datang di pesantren ini, Intel, Pemda, pihak perusahaan, para polisi dan para ajudan,  membujuk kami warga dan para ulama untuk memberikan tanda tangan dan izin menyerahkan tanah air tercinta untuk mereka.

Tidak. Sekali tidak selamanya tidak. Kalian lupa saya anak seorang pejuang, yang berkorban jiwa raga, darah dan air mata untuk Negara. 

Di dalam tubuh ini mengalir darhanya. Pantang untuk saya menyerah pada kebatilan. 

Kalian pergi dari tanah  kami, atau kami tetap melawan untuk mempertahankan kedamaian dan keamanan tanah air tercinta sampai Ahir masa. 


Telah dikisahkan oleh ummi Eha. Pimpinan pemateri Roudatul bakiiyat Padarincang. Serang.

Komentar

  1. Merdeka..sekali merdeka tetap merdeka... Bismilah kita teruskan semangat perjuangan para pejuang kemerdekaan 💪🏻💪🏻

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengelola Majalah Sekolah

Selamat Jalan Eril ( Sang Calon Pemimpin Masa Depan itu lebih dulu pulang )

Bangkitlah Kawan. Kasih Sayang Allah Seluas Langit dan Bumi