Iama Syafi'i ANAKKU KITA BERTEMU DI AKHIRAT SAJA

 ANAKKU KITA BERTEMU DI AKHIRAT SAJA

(Kisah dan ibrah dari ibunda Imam Syafii)


Imam Syafi’i tumbuh besar di Makkah sebagai anak yatim dan kurang mampu. Dengan keadaan seperti itu, ibunya selalu bekerja keras dan terus berjuang agar anaknya bisa belajar agama kepada ulama besar di Mekkah.


Guru pertama Imam Syafii adalah Muslim bin Khalid Az. Zanjy, seorang ulama besar di Makkah.


Pernah suatu ketika Ibu Imam Syafi’i sedang tidak mempunyai uang untuk membayar sekolah, dia menemui guru Imam Syafi’i dan memintanya untuk menjadikan Syafii pembantu gurunya sebagai ganti biaya sekolah.


Imam Syafii sangat terharu akan hal ini, sehingga beliau tidak ingin menyia-nyiakan perjuangan ibunya.


Imam Syafi’i bercerita, ibunya berusaha mendaftarkannya ke sebuah madrasah. Namun sayang, ibunya tak punya sepeser uang pun untuk membayar guru di sana. Sehingga ada kalanya sang guru tak mengajarkan pelajaran dengan sepenuh hati kepada Imam Syafi’i. Meskipun demikian, Imam Syafi’i tak berputus asa, ia tetap belajar dengan sungguh-sungguh. Setiap kali gurunya mengajarkan sesuatu kepada murid-murid, ia langsung bisa menghafalnya.


Ketika sang guru beranjak pergi, Imam Syafi’i lalu mengajarkan ulang materi tersebut kepada teman-temannya. Begitu guru itu mengetahui perbuatan Syafi’i kecil, ia merasa sangat lega karena muridnya ini justru bisa memberikan sesuatu yang lebih berharga ketimbang uang bayaran sekolah yang diharapkannya. Maka dari itu, sang guru akhirnya membebaskan putra Idris ini dari biaya sekolah. Keadaan ini terus berlanjut hingga Imam Syafi’i mampu menghafal seluruh isi Al-Qur’an dalam usia tujuh tahun.


Imam Syafii bercerita :

” Di suatu gang aku melihat tulang maka aku ambil dan menulis hadist dan ilmu-ilmu lainnya pada tulang tersebut, apabila tulang tersebut sudah penuh tulisan, maka aku menaruhnya di dalam bejana."


Setelah beberapa waktu belajar pada ulama Mekkah, Syafii kecil pun dipanggil Sang Guru. Beliau berkata:


“Anakku, ilmuku telah habis. Pergilah ke Madinah dan lanjutkan ke Irak, di sana banyak ulama yang akan memperkokoh keilmuanmu.”


Syafi’i kecil pun menjawab dengan sopan.

“Baik guru, namun terlebih dahulu ijinkan saya untuk meminta doa restu kepada ibu”.


Setibanya Syafi’i di kediaman ibunya, beliau mengatakan keinginannya untuk menimba ilmu ke Madinah.


Ibunya terkejut dan merasa berat hati, karena ia akan berpisah dengan putra tercinta. Namun demi kesuksesan masa depan anak, sang ibu merelakan dan berkata;

“Berangkatlah anakku, kita bertemu di akhirat saja”.

Allahu Akbar.


Dan akhirnya Syafi’i kecil berangkat ke Madinah dengan doa dan restu dari ibu tercinta. Saat itu usianya sekitar 10 tahun atau lebih.


Beberapa tahun kemudian, Imam Syafi’i telah menjadi orang hebat, dan mufti yang tersohor namanya, karena memang Imam Syafi’i memilik kecerdasan yang jarang atau bahkan tidak dimiliki anak seusianya.


Namun meskipun demikian hebatnya, beliau tetap tidak berani pulang, karena ibunya belum memanggilnya pulang.


Tibalah musim haji, semua orang berkumpul di Makkah untuk melakukan ibadah haji, tanpa terkecuali ibunda imam Syafi’i.


Di dalam Masjidil Haram, sudah menjadi pemandangan lazim para ulama terkemuka mengadakan halaqah pengajian yang diikuti oleh para jamaah dan murid-muridnya.


Ada salah satu halaqah yang sangat besar, yang dipimpin seorang ulama yang terkenal Alim, dan halaqah inipun menjadi pusat perhatian para jamaah haji, tak terkecuali ibunda Imam Syafi’i.


Kemudian ibunda Imam Syafi’i mendatangi dan mengikuti pengajian ulama yang terkenal Alim tersebut.


Namun anehnya sang Syekh itu sering mengatakan; “Qola Muhammad bin Idris As-Syafi’i”. “Muhammad bin Idris As-Syafi’i berkata…”.


Karena penasaran, sang ibunda bertanya kepada Syekh tadi; “Wahai syekh, siapakah Muhammad bin As-Syafi’i yang sering anda sebutkan, dan seakan menjadi idola anda.? ”


Syekh menjawab; “Beliau guru saya di Irak. Beliau adalah orang yang sangat Alim, orang yang sangat hebat, guru yang sangat mulia, keilmuannya tiada tandingannya, dan perlu anda ketahui, beliau aslinya dari Makkah, dan kemudian melanjutkan studinya ke Madinah, dan saat ini beliau telah menjadi mufti termulia di Irak. ”


Kemudian Ibunda Imam Syafi’i berkata:

“Ketahuilah wahai Syekh, guru anda yang katanya hebat dan mulia itu adalah anakku.”


Betapa terkejutnya sang Syeikh dengan penuturan ibu tua di hadapannya.


“Aku hanya berpesan sampaikan pada guru anda yang bernama Muhammad bin Idris As Syafi’i itu. Apabila ia mau pulang, maka aku telah mengizinkannya.”

Syekh yang alim tersebut terkejut dan kagum kepada ibu tua yang mengaku ibu dari gurunya yang alim tersebut. Ternyata ibunda beliau masih hidup.


Kemudian sang Syekh hanya mampu menundukkan kepala tanda hormat seraya mengucapkan:

“Iya akan kami sampaikan kepada guru mulia kami”.


Sesampainya di kota Irak, murid imam Syafi’i tersebut langsung menyampaikan pesan yang menjadi amanahnya.


Mendengar berita itu, Imam Syafi’i sangat gembira, dan memang berita inilah yang ditunggu-tunggu sejak lama.


Karena beliau selalu ingat pesan sang ibu : “Kita bertemu diakhirat saja”. Artinya : sudah tidak ada harapan untuk bertemu di dunia.


Setelah menyelesaikan tugasnya, dan dengan waktu yang telah direncanakan, Imam Syafi’i akan segera berangkat pulang, untuk melepas rindu kepada ibunda tercinta.


Karena waktu itu imam Syafi’i adalah ulama mulia dan tersohor, sontak berita kepulangan imam Syafi’i cepat tersebar keseluruh pelosok tanah Irak.


Pecinta dan pengagum Imam Syafi’i memberi bekal dan oleh-oleh untuk dibawa pulang kerumahnya. Ada yang memberikan beberapa onta, ada juga yang memberikan beberapa dinar emas.


Sehingga dengan sekejap imam Syafi’i menjadi orang kaya, dikisahkan Imam Syafi’i pulang dengan membawa banyak onta dan beratus-ratus uang dinar.


Tibalah waktunya imam Syafi’i pulang ke ibunda tercinta. Sesampainya imam Syafi’i di batas tapal kota Makkah, imam Syafi’i memerintahkan muridnya untuk memberitahu dan meminta izin kepada ibunya untuk memasuki kota Makkah.


Murid mengetuk pintu rumah ibunda tercinta imam Syafi’i dengan mengucapkan salam : “Assalamualaikum. ”


Ibunda : “Wa’alaikumsalam, siapa anda?”


Murid : “Saya muridnya imam Syafi’i, putramu. Kami ingin memberitahukan bahwa Imam Syafi’i telah sampai di batas kota Makkah, memohon izin untuk masuk.”


Ibunda : “Syafi’i anakku membawa apa?”


Murid : “la membawa banyak harta, berupa onta dan beberatus uang dinar.”


Dengan nada marah sang ibunda menjawab : “Sampaikan ke Syafi’i, saya menyuruh meninggalkan kota Makkah bukan untuk mencari harta, bilang ke dia, saya tidak butuh hartanya, dan suruh ia kembali lagi ke kotanya.


Murid Imam Syafi’i terkejut dengan jawaban ibunya. Kemudian ia kembali kepada gurunya, dan menceritakan tentang apa yang telah ia alami.


Kemudian imam Syafi’i mengatakan;

” Wahai muridku kamu salah menjawab pertanyaan ibuku. Sekarang kamu panggil seluruh penduduk kota Makkah, dan bagikan semua harta yang kita bawa ini.”


Kemudian sang murid melakukan apa yang telah diperintahkan gurunya, dan membagikan semua harta itu sampai habis tak tersisa.


Nah, sekarang kamu datangi ibunda ku lagi, dan sampaikan bahwa harta Syafi’i telah habis dibagikan, yang tertinggal hanya ilmu dan kitabnya saja.


Kemudian barulah Imam Syafi’i diperkenankan masuk kota Makkah, dan bertemu melepas rindu yang telah tertahan berpuluh-puluh tahun dengan ibunda tercinta.

-------

Referensi:

– Min A’lam As-Salam karya Syaikh Ahmad Farid

– Buku Biografi Ulama Ahlussunnah

– Ceramah Buya Yahya, Ulama Cirebon

– Buku Biografi Imam Syafii

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menulis Membuatku Naik Kelas dan Berprestasi

Selamat Jalan Eril ( Sang Calon Pemimpin Masa Depan itu lebih dulu pulang )

Mengelola Majalah Sekolah