Jakarta. Impian Wisata Cantika



"Bunda, aku ga mau ikut wisata ke Jakarta yang diadakan sekolah" ucap Cantika dengan wajah tertunduk. Sungguh hatinya begitu pilu, mengatakan ini. Ingin sekali ikut berwisata ke Jakarta bersama rombongan sekolah, namun di sisi lain, Cantika tak tega menambah beban sang ibu. Setelah biaya yang tak sedikit ibunya keluarkan untuk wisuda Arina. Setetes air bening jatuh dari matanya. Cantika segera berlalu dari hadapan sang ibu, agar kesedihan tak tertangkap oleh ibunya.

Ayu paham betul bagaimana perasaan putri sulungnya. Tak kalah pilu hatinya, melihat harapan putri sulungnya pupus karena keterbatasan ekonomi.

Ia peras otaknya agar menemukan, ide apa gerangan, untuk mengganti acara wisata Jakarta untuk Arin, namun otaknya buntu. Jika mengganti acara dengan jalan-jalan ke pasar, rasanya sudah terlalu sering ia lakukan. Akhirnya Ayu pasrah. “Biarlah anak-anaknya menahan diri akan keinginan mereka.” Ayu membatin.

Setelah jam makan malam, pintu diketuk seseorang. 

Tok tok tok!

"Bu Ayu. Cantika ...!" seru orang di luar pintu. Segera Ayu beranjak membukakan pintu.. "Eh Bu Lurah ada apa ya, malam-malam begini? Oh islahkan masuk, Bu. "

 Setelah mempersilahkan masuk dan membuatkan secangkir teh hangat, barulah Ayu kembali menanyakan, gerangan apa maksud Bu Lurah malam-malam begini.

"Begini loh, Mamah Cantika. Saya dengar Cantika ga jadi ikut acara sekolah ke Jakarta?" tanya Bu Lurah menjeda ucapannya. Sebagai istri tokoh masyarakat, ia berusaha mengetahui kekuatan dan kesulitan warga di lingkungannya. 

"Iya, Bu. Cantika ga ikut acara wisata sekolah, karena, mm ..., saya tidak punya uang Bu Lurah," terang Ayu, malu. 

"Nah kebetulan, saya dan keluarga ada agenda ke Jakarta, gimana kalo Bu Ayu dan anak-anak ikut kami? Ah kebetulan, ART saya sedang pulang Bu Ayu, jadi saya tidak ada menemani di perjalanan. Bu Ayu, mengerti lah tugas Bapak, Khawatirnya saya bete. Jadi saya butuh teman Bu, mau ya?" Bu Lurah menjelaskan dan meminta, Ayu agak memaksa.

Sesungguhnya Ayu sangat malu jika harus menerima ajakan dan kebaikan Bu Lurah, namun demi melihat wajah Cantika dan Arin yang penuh harap, mengintip dari kamar. Arin tak sampai hati mematahkan hati Cantika untuk kedua kalinya.

"Bagaimana Mama Cantika, ikut ya?" tanya Bu Lurah menyadarkan kebingungan Ayu. 

"MMM ..., tapi kami nanti ngerepotin Bu!" Ayu beralasan. 

"Ah bukan Bu Ayu merepotkan justru saya yang akan merepotkan. Udah jangan banyak mikir,"

"Cantika, Arin, sini sayang, kita akan jalan-jalan ke Jakarta. Mau?" ucap Bu Lurah kepada ke dua anak Ayu. Cantika dan Arin menatap ibu penuh harap. Seulas senyum manis Ayu hadirkan untuk kedua buah hatinya. 

"Baik Bu, kami ikut." ucap Ayu dengan senyuman. 

"Horeee!" seru Arin dan Cantika penuh kegembiraan.

Ke esokkan hari, ibu dan dua anak itu sibuk sejak subuh untuk mempersiapkan keberangkatan. Pukul delapan pagi, rombongan wisata yang hanya terdiri dari Bapak, Ibu Lurah, Ayu, Arin dan Cantika, serta seorang sopir meluncur dengan gembira menuju Jakarta. 

Sementara Bapak Lurah yang dalam tugas  studi banding dan urusan bisnis, di Jakarta, kaum perempuan diantar sopir melaju menuju beberapa tempat wisata seperti Ragunan, TMII dan beberapa tempat lainya. 

Sementara itu Bu Lurah merasa terharu. Melihat kegembiraan Ayu dan anak-anaknya, ia teringat masa-masa perjuangan hidup yang diri dan keluarga lalui. 

Arin dan Cantika begitu bergembira, Ayu begitu bahagia. Banyak terima kasih ia ucapkan kepada dua pasangan tokoh masyarakat tersebut . Impian  Cantika dan Arin kini terwujud, tidak lain dan tidak bukan karena Allah mengerakkan hati hamba-Nya yang baik hati. 


Tamat 




 












 "Bunda, aku ga mau ikut wisata ke Jakarta yang diadakan sekolah" ucap Cantika dengan wajah tertunduk. Sungguh hatinya begitu pilu, mengatakan ini. Ingin sekali ikut berwisata ke Jakarta bersama rombongan sekolah, namun di sisi lain, Cantika tak tega menambah beban sang ibu. Setelah biaya yang tak sedikit ibunya keluarkan untuk wisuda Arina. Setetes air bening jatuh dari matanya. Cantika segera berlalu dari hadapan sang ibu, agar kesedihan tak tertangkap oleh ibunya.


Ayu faham betuk bagaimana perasaan putri sulungnya. Tak kalah pilu hatinya, melihat harapan putri sulungnya pupus karena keternatasan ekonomi.


Ia peras otaknya agar menemukan, ide apa gerangan, untuk menganti acara wisata Jakarta untuk Arin. 




Setelah jam makan malam, pintu diketuk seseorang. 


Tok tok tok!


"Bu Ayu. Cantika ...!" seru orang di luar pintu. Segera Ayu beranjak membukakan pintu.. "Eh Bu Lurah ada apa ya, malam-malam begini?" "Oh silahkan masuk, Bu. "


 Setelah mempersilahkan masuk dan membuatkan secangkir teh hangat, barulah Ayu kembali menanyakan, gerangan apa maksud Bu Lurah malam-malam begini.


"Begini loh, Mamah Cantika. Saya dengar Cantika ga jadi ikut acara sekolah ke Jakarta?" tanya Bu Lurah menjeda ucapannya. Sebagai istri tokoh masyarakat, ia berusaha mengetahui kekuatan dan kesulitan warga di lingkungannya. 


"Iya, Bu. Cantika ga ikut acara wisata sekolah, karena, mm ..., saya tidak punya uang Bu Lurah," terang Ayu, malu. 


"Nah kebetulan, saya dan keluarga ada agenda ke Jakarta, gimana kalo Bu Ayu dan anak-anak ikut kami? Ah kebetulan, ART saya sedang pulang Bu Ayu, jadi saya tidak ada menemani di perjalanan. Ibu Ayu, ngerti lah tugas Bapak, Hawatirnya saya bete. Jadi saya butuh teman Bu, mau ya?" Bu Lurah menjelaskan dan meminta, Ayu agak memaksa. 


Sesungguhnya Ayu sangat malu jika harus menerima ajakan dan kebaikan Bu Lurah, namun demi melihat wajah Cantika dan Arin yang penuh harap, mengintip dari kamar. Arin tak sampai hati mematahkan hati Cantika untuk kedua kalinya.


"Bagai mana Mama Cantika, ikut ya?" tanya Bu Lurah menyadarkan kebingungan Ayu. 


"MMM ..., tapi kami nanti ngerepotin Bu!" Ayu beralasan. 


"Ah bukan Bu Ayu merepotkan justru saya yang akan merepotkan. Udah jangan banyak mikir,"


"Cantika, Arin, sini sayang, kita akan jalan-jalan ke Jakarta. Mau?" ucap Bu Lurah kepada ke dua anak Ayu. Cantika dan Arin menatap ibu penuh harap. Seulas senyum manis Ayu hadirkan untuk kedua buah hatinya. 


"Baik Bu, kami ikut." ucap Ayu dengan senyuman. 


"Horeee!" seru Arin dan Cantika penuh kegembiraan.


Ke esokan hari, ibu dan dua anak itu sibuk sejak subuh untuk mempersiapkan keberangkatan. Pukul delapan pagi, rombongan wisata yang hanya terdiri dari Bapak, Ibu Lurah, Ayu, Arin dan Cantika, serta seorang supir meluncur dengan gembira menuju Jakarta. 


Sementara Bapak Lurah yang dalam tugas kunungan dan studi banding dan urusan bisnis, di Jakarta, kaum perempuan diantar sopir melaju menuju bebrapa tempat wisata seperti ragunan, TMII dan bebrapa tempat lainya. 


Sementara itu Bu Lurah merasa terharu. Melihat kegembiraan Ayu dan anak-anaknya, ia teringat masa-masa perjuangan hidup yang diri dan keluarga lalui. 


Arin dan Cantika begitu bergembira, Ayu begitu bahagia. Banyak terima kasih ia ucapkan kepada dua pasangan tokoh masyarakat tersebut . Impian  Cantika dan Arin kini terwujud, tidak lain dan tidak bukan karena Allah mengerakkan hati hamba-Nya yang baik hati. 


Tamat 




 












 "Bunda, aku ga mau ikut wisata ke Jakarta yang diadakan sekolah" ucap Cantika dengan wajah tertunduk. Sungguh hatinya begitu pilu, mengatakan ini. Ingin sekali ikut berwisata ke Jakarta bersama rombongan sekolah, namun di sisi lain, Cantika tak tega menambah beban sang ibu. Setelah biaya yang tak sedikit ibunya keluarkan untuk wisuda Arina. Setetes air bening jatuh dari matanya. Cantika segera berlalu dari hadapan sang ibu, agar kesedihan tak tertangkap oleh ibunya.


Ayu faham betuk bagaimana perasaan putri sulungnya. Tak kalah pilu hatinya, melihat harapan putri sulungnya pupus karena keternatasan ekonomi.


Ia peras otaknya agar menemukan, ide apa gerangan, untuk menganti acara wisata Jakarta untuk Arin. 




Setelah jam makan malam, pintu diketuk seseorang. 


Tok tok tok!


"Bu Ayu. Cantika ...!" seru orang di luar pintu. Segera Ayu beranjak membukakan pintu.. "Eh Bu Lurah ada apa ya, malam-malam begini?" "Oh silahkan masuk, Bu. "


 Setelah mempersilahkan masuk dan membuatkan secangkir teh hangat, barulah Ayu kembali menanyakan, gerangan apa maksud Bu Lurah malam-malam begini.


"Begini loh, Mamah Cantika. Saya dengar Cantika ga jadi ikut acara sekolah ke Jakarta?" tanya Bu Lurah menjeda ucapannya. Sebagai istri tokoh masyarakat, ia berusaha mengetahui kekuatan dan kesulitan warga di lingkungannya. 


"Iya, Bu. Cantika ga ikut acara wisata sekolah, karena, mm ..., saya tidak punya uang Bu Lurah," terang Ayu, malu. 


"Nah kebetulan, saya dan keluarga ada agenda ke Jakarta, gimana kalo Bu Ayu dan anak-anak ikut kami? Ah kebetulan, ART saya sedang pulang Bu Ayu, jadi saya tidak ada menemani di perjalanan. Ibu Ayu, ngerti lah tugas Bapak, Hawatirnya saya bete. Jadi saya butuh teman Bu, mau ya?" Bu Lurah menjelaskan dan meminta, Ayu agak memaksa. 


Sesungguhnya Ayu sangat malu jika harus menerima ajakan dan kebaikan Bu Lurah, namun demi melihat wajah Cantika dan Arin yang penuh harap, mengintip dari kamar. Arin tak sampai hati mematahkan hati Cantika untuk kedua kalinya.


"Bagai mana Mama Cantika, ikut ya?" tanya Bu Lurah menyadarkan kebingungan Ayu. 


"MMM ..., tapi kami nanti ngerepotin Bu!" Ayu beralasan. 


"Ah bukan Bu Ayu merepotkan justru saya yang akan merepotkan. Udah jangan banyak mikir,"


"Cantika, Arin, sini sayang, kita akan jalan-jalan ke Jakarta. Mau?" ucap Bu Lurah kepada ke dua anak Ayu. Cantika dan Arin menatap ibu penuh harap. Seulas senyum manis Ayu hadirkan untuk kedua buah hatinya. 


"Baik Bu, kami ikut." ucap Ayu dengan senyuman. 


"Horeee!" seru Arin dan Cantika penuh kegembiraan.


Ke esokan hari, ibu dan dua anak itu sibuk sejak subuh untuk mempersiapkan keberangkatan. Pukul delapan pagi, rombongan wisata yang hanya terdiri dari Bapak, Ibu Lurah, Ayu, Arin dan Cantika, serta seorang supir meluncur dengan gembira menuju Jakarta. 


Sementara Bapak Lurah yang dalam tugas kunungan dan studi banding dan urusan bisnis, di Jakarta, kaum perempuan diantar sopir melaju menuju bebrapa tempat wisata seperti ragunan, TMII dan bebrapa tempat lainya. 


Sementara itu Bu Lurah merasa terharu. Melihat kegembiraan Ayu dan anak-anaknya, ia teringat masa-masa perjuangan hidup yang diri dan keluarga lalui. 


Arin dan Cantika begitu bergembira, Ayu begitu bahagia. Banyak terima kasih ia ucapkan kepada dua pasangan tokoh masyarakat tersebut . Impian  Cantika dan Arin kini terwujud, tidak lain dan tidak bukan karena Allah mengerakkan hati hamba-Nya yang baik hati. 


Tamat



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menulis Membuatku Naik Kelas dan Berprestasi

Selamat Jalan Eril ( Sang Calon Pemimpin Masa Depan itu lebih dulu pulang )

Mengelola Majalah Sekolah